Sabtu, 01 Februari 2014

Cerita Dara

“Dara…, tunggu!” suara cempreng milik Faya menghentikan langkah kakiku yang tergesa-gesa. Aku berbalik menanti Faya yang berlari-lari kecil ke arahku. Saat Faya sampai tepat di belakang ku, aku kembali melanjutkan langkah.
“Ra, kok lo buru-buru banget sih?” tanya Faya dengan suara terputus-putus.
“Iya, gua gak mau telat dan dapat kursi di belakang.” Jawabku singkat.
“Tumben? Biasanya lo kan paling anti duduk di depan.” Faya yang ngos-ngosan berusaha mengimbangi langkah kakiku yang lebar-lebar.
“Itu kan biasanya, nah sekarang yang luar biasa…” jawabku sekenanya.
Sesampainya di depan kelas F2, ku lihat kelas itu masih kosong melompong. Ternyata memang benar aku kepagian. Aku langsung mengambil kursi di barisan paling depan tepat di depan meja dosen. Faya yang terlihat masih bingung tetap mengikuti gerakanku. Ia lalu mengambil tempat duduk di sebelahku.
“Kenapa sih lo, Ra? Jadi aneh banget ni hari?” tanya Faya penasaran.
“Lo tau sekarang hari apa?” aku balik bertanya.
“Hari selasa, emangnya kenapa?”
“Lo tau apa artinya Selasa?”
“Nama hari yang ketiga.” Jawab Faya polos.
“Amplop deh, bego banget sih lo…”
“Ya, gua bingung. Maksud pertanyaan lo itu apa siiih?”
“Gini lho, sekarang hari Selasa, jam pertama, mata kuliah Linguistik. Nah, sekarang lo juga belum ngerti tu artinya apa?”
“Ooohhh… maksud looo?” mata Faya yang indah membulat seperti bola pingpong. Jari telunjuknya mengacung ke arah wajahku. Aku mengangguk puas saat Faya akhirnya mengerti apa yang ku maksud.
“Lo juga suka sama Pak Daniel?” suara cempreng Faya mengagetkanku sehingga secara reflek aku membekap mulutnya hingga ia megap-megap kehabisan nafas.
“Sssttt.., jangan teriak-teriak ntar kedengaran yang lain kan berabe. Malu gua..”
Sekelebat ku lihat bayangan seseorang melintas di depan kelas. Aku melongokkan kepalaku ke arah jendela. Bayangan itu telah berlalu. Aman. Kulepaskan bekapanku di mulut Faya. Gadis itu mengambil nafas lega.
“Gila lo! Mau bunuh gue lo?” ceracau Faya.
“Hehehhehe.. piiisss men,” aku mengacungkan dua jariku dengan bentuk ‘V’ di depan wajah manis Faya yang memerah.
“Eh, tapi beneran nih? Keanehan lo hari ini karena Pak Daniel? Tapi lo bilang lo gak suka sama dia, maksud gue lo gak mau jadi ikut-ikutan norak kaya anak-anak?” Faya nyerocos kaya petasan rawit.
“Eits… satu-satu kenapa?” kataku. Ku lihat wajah Faya yang ingin tau melongo kaya sapi ompong. Hihiihihihiih… wajah sahabatku yang satu ini emang lucu kalau lagi bengong.
“Iya, gue suka sama Pak Daniel. Suka banget malah!” ujarku. “gue naksir dia… tapi gue gak mau dong kaya anak-anak yang jadi norak salah tingkah gitu. Gengsi gue. Dara gitu lho!” aku tersenyum-senyum kemudian. Tak terbayang jika nanti ternyata Pak Daniel juga suka sama aku, gosipnya doi kan jomblo, belum punya pacar, belum menikah. Jadi ada kesempatanlah buat ngedaftar untuk menjadi kekasihnya. Hahahhahahahha… asik.. asik… heeey!
“waaah… kumat ni anak. Kumat gilanya!” kata Faya melihat tingkah lakuku. Jari telunjuknya ia silangkan di jidat licin-nya.
Ah, masa bodo kalau Faya bilang Aku gila. Tapi ini memang benar. Aku menyukai Pak Daniel, Dosen baru yang mengajar Linguistik. Ia masih muda, umurnya baru 28 tahun. Selisih 8 tahun dari umurku sekarang. Gak papa lah, jika ia jadi pacarku, itu kan belum tua-tua amat, pikirku. Tapi sainganku pasti sangat banyak. Soalnya sejak pak Daniel masuk minggu lalu, anak-anak cewek di kelasku ribut menceritakan dosen tampan itu setiap hari. Pak Daniel Aditya Naufal D.A – aku gak tau D.A itu kepanjangannya apa – memang sangat manis, cute, cakep, ganteng apalagi ya? Pokoknya handsome buanget deh. Tidak ada sedikit pun garis dan lekukan yang cacat dari dirinya. Sangat sempurna Tuhan menciptakannya. Sekilas Pak Daniel mirip dengan Robert Pattinson pemeran Edward Cullen dalam film seri ‘Twilight’. Yang paling ku suka dari wajahnya adalah matanya yang berwarna hazel. Mata itu memiliki tatapan yang tajam dan menusuk, menusuk hingga ke relung hati terdalam. Oh, Pak Danielku sayang, mau gak jadi pacarku? Plaakkk!
“Awww.” aku meringis kesakitan saat Faya ternyata mendaratkan tangannya di lenganku.
“Lo ngelamun jorok ya?”
“Iih, apaan sih lo?” aku memelototkan mata ke arah Faya.
“Terus kalo gak ngelamun jorok, ngapain lo senyum-senyum gak jelas gitu?”
“Ih, mau tauuu aja!” jawabku.
Ku edarkan pandanganku berkeliling. Kursi-kursi yang ada sudah dipenuhi oleh mahasiswa yang telah berdatangan. Ternyata lumayan lama aku melamunkan si Robert Pattinson, sehingga aku tidak sadar dengan keadaan di sekelilingku.
“Tu, Pak Daniel dateng tuh.” Faya memonyongkan bibirnya ke arah pintu. O, arjunaku datang. Hatiku bersorak kegirangan. Aku langsung mengatur dudukku semanis dan seanggun mungkin, merapikan rambut, dan pakaianku.
“Selamat pagi.” Suara Pak Daniel yang penuh karisma bergema ke seluruh ruangan sekaligus ke seantero hatiku.
“Pagiii.” Suaraku tercekat di tenggorokan.

“Ma…,” aku mencari sosok mama ke semua ruangan. “Mama..”
“Kenapa Dara?” mama muncul dari halaman belakang dengan sebuah pot bunga di tangannya. Bunga yang tumbuh di dalam pot itu manis sekali, daunnya yang hijau berbentuk lebar agak memanjang dan kelopak bunganya kecil-kecil berwarna putih bersih. Aku belum pernah melihat bunga itu di taman bunga milik mama.
“Itu bunga apa Ma, koleksi Mama yang baru ya?”
“Ini namanya Lily. Lily of valey, bagus ya Ra.”
“Iya bagus, cantik. Kapan Mama membelinya?” tanyaku sembari menyentuh kelopak bunganya yang putih lembut.
“Mama gak beli, ini dibawain Abby tadi pagi. Seleranya tentang bunga, bagus. Mama suka banget sama bunga yang dia bawain ini.” Ujar mama sumringah.
“Abby? Abby siapa Ma,” tanyaku bingung “kok tadi pagi aku gak ketemu?”
“Abby itu pacarnya Mbakmu.” Jawaban Mama membuatku semakin membuatku bingung. “tadi pas kamu udah berangkat dia dateng, makanya gak ketemu.”
“Lho? Bukannya pacar Mbak Sinta namanya Jefry?”
“Itu dulu, sekarang tidak.” Jawab Mama meniru gaya ucapan Omesh di salah satu iklan di televisi.
“Lho, jadi Mbak Sinta udah putus ya Ma sama Kak Jefry? Kapan?” aku penasaran.
“Itu makanya kamu jangan sibuuuk aja sama diri sendiri. Jadinya gak update kan?”
“Iih, Mama! Gitu deh…” aku merajuk, mencoba mencari keterangan dengan jurusku yang paling ampuh. Ngambek! Mama terkekeh melihat tingkahku.
“Ya udah, ntar mama ceritain. Kamu makan siang dulu sana! Mama mau ngerapiin ini dulu, ntar kita cerita.” titah mama. Aku mengangguk. Dalam hati aku tidak sabar ingin mendengar cerita Mama, selain itu aku juga ingin menceritakan Pak Daniel. Dosen ganteng yang sudah mencuri hatiku. Aku memang selalu curhat tentang apapun sama mama. Mama adalah ibu sekaligus sahabat untukku. Ketimbang dengan Mbak Sinta yang notabene kakakku, aku lebih suka berbagi cerita dengan mama. Karena jarak umur kami yang lumayan jauh, Mbak Sinta dan aku jarang curhat-curhatan. Mungkin Mbak Sinta menganggap aku adik kecilnya yang masih polos dan lugu, sehingga belum pantas untuk curhatan ala wanita dewasa.
Aku menyelesaikan makan siangku dengan tergesa-gesa sehingga beberapakali aku tersedak makanan. Setelah meja makan kubersihkan kembali, aku menuju mama di halaman belakang.
“Udah selesai makannya?”
“Udah Ma,”
“Cepet banget, nasinya gak kamu kunyah?”
“Gak! langsung aku telen,” jawabku berkelakar. Mama menoel hidungku dengan jari telunjuknya yang kotor kena tanah basah.
“Iiih, Mama. Jorok deeh..” rengekku sambil membersihkan hidungku yang kotor bekas jejak telunjuk mama. Mama tertawa melihat ulahku.
“Cerita dong ma…”
“Cerita apa?”
“Itu… pacarnya Mbak Sinta…”
“Oooh, Abby. Abby itu temen SMA nya Mbak Sinta. Tapi saat lulus SMA, Abby pindah ke Jakarta dan kuliah di sana. Saat dia sudah menamatkan S2 dia pindah lagi ke sini, dan bekerja di sini.”
“Trus Mas Abby tu kerja di tempat Mbak Sinta juga?”
“Kayanya gak deh. Mbak Sinta pernah cerita, katanya Abby itu mengajar, tapi mengajar apa dan dimana Mama gak nanya.”
“Trus, udah berapa lama Mbak Sinta dan Mas Abby pacaran, Ma?” tanyaku kemudian.
“Baru juga satu bulanan ini.” Jawab mama. “Saat Mbakmu dan Jefry putus karena Jefry ketauan selingkuh, seminggu kemudian Mbakmu ketemu sama Abby, ngerasa kembali klop karena waktu SMA memang sudah ada bibitnya, mereka langsung deh jadian.” Mama meletakkan sekop kecil yang ia pegang. Mama menarik nafas sejenak sebelum melanjutkan, “mudah-mudahan Abby ini lelaki yang baik, lelaki terakhir yang kelak akan menjadi imam yang baik buat Mbakmu. Mama ingin Mbakmu segera menikah, terus punya anak yang lucu-lucu. Hhhh… rasanya sudah tak sabar ingin menggendong cucu.” Pandangan mata mama menerawang.
Aku memeluk mama dari belakang, “iya Ma, aku juga ikut do’ain mudah-mudahan Mas Abby ini orang yang baik, yang kelak akan menjadi jodohnya Mbak Sinta, aku juga udah pengen punya ponakan yang lucu-lucu”. Aku dan mama tersenyum penuh arti.
“Oh ya Ma, aku juga mau cerita,” ujarku kemudian.
“Hmm, cerita apa?”
“Ada dosen baru di kampus aku, GILAA!!! Guanteng banget, mirip sama Robert Pattinson yang di ‘Twilight itu’. Wuuuiiihhh, anak-anak cewek di kelas, pada ribuuut nyeritain tu dosen tiap hari. Mama ngebayangin gak, anak-anak pada kecentilan waktu dosen itu ngajar. Mereka bilang, gantengnya bikin gak konsentrasi. Semuanya jadi norak gak ketulungan.”
“Termasuk kamu, kan?”
“Ih, ya gak lah, aku mah kalem aja.”
“Kaya lembu?”
“Ih, Mama gak asik deh.” Aku memonyongkan bibirku. Mama terkekeh.
“Jadi, intinya nih Ma, tiap hari tu aku jadi semangat ngampus, paling kurang ya buat ngeliat si Robert Pattinson itu.” Aku mengkhayalkan kembali senyum manisnya Pak Daniel. Oh, dia telah sungguh-sungguh menjungkirbalikan hatiku.
Minggu pagi yang cerah. Matahari pagi sudah merayap masuk melalui celah ventilasi ruang kamarku. Namun hal itu tidak menyurutkan niatku untuk kembali menarik selimut, padahal udara tidak lagi dingin. Telah menjadi kebiasaanku setiap hari minggu, karena libur kuliah, setelah sholat Shubuh biasanya aku kembali melanjutkan tidur. Demikian juga hari ini, aku berusaha untuk tidur, walaupun mata ini sudah tak mau terpejam. Aku berguling ke kiri dan ke kanan, memeluk guling lalu mencampakkannya, belum ada posisi yang membuatku nyaman. Ku ambil bantal ku yang sudah kisut, lalu menutupkannya ke mukaku. Hhmm… agak lumayan.
Ting tong.., bel rumah berbunyi. Nah lo siapa lagi tu? Ting tong, lagi bel kembali berdentang. Pada kemana sih orang-orang, bel bunyi dianggurin aja. Aku kemudian bangkit dari tidurku, melayangkan pandang pada weker yang bertengger patuh di atas meja belajarku. Jam setengah tujuh pagi! Siapa yang bertamu se pagi ini? Kurang kerjaan!
Aku berjalan keluar kamar, mencari-cari sosok Mama atau Mbak Sinta. aku mengarahkan langkah kakiku ke dapur, tak ada Mama atau siapapun di sana. Dari kamar mandi terdengar bunyi air yang bergemericik dan suara senandung kecil. Oo, itu pasti Mbak Sinta. Tapi dimana Mama? Aku menuju halaman belakang, namun Mama juga tidak ada di sana. Ting tong! Bel kembali berdentang. Huft, terpaksa deh aku yang bukain pintu. Mana belum mandi, acak-acakan. Tapi siapa sih yang datang bertamu sepagi ini? Tanyaku dalam hati. Paling juga tukang koran, atau Mbak penjual susu murni. Jawab hatiku kemudian. Kurapikan rambut panjangku yang kusut masai dengan menggunakan sisir jari.
“Iya sebentar,” teriakku sambil berjalan ke arah pintu depan. Oow, ternyata pintunya terkunci.
“Assalamualaikum,” suara laki-laki di balik pintu.
“Waalaikum salam, sebentar Pak, Mas, Abang!” kataku, uh, gak sabaran banget sih ni orang. Ku cari-cari kunci cadangan di dalam laci lemari di ruang tamu. Berarti Mama sedang keluar, memang itu kebiasaan Mama, apabila beliau keluar rumah entah itu ke pasar atau hanya ke warung di sudut kompleks, ia selalu mengunci rumah walaupun kami ada di dalam apalagi jika kami masih tidur. Demi alasan keamanan, kata Mama. Mama terkesan terlalu over protektif. Tapi begitulah Mama jika Papa sedang tak ada di rumah.
Akhirnya kunci dengan mainan domba ‘Shaun the Sheep’ itu aku temukan terselip di bawah tumpukan kertas-kertas, entah rekening listrik, air atau apalah itu. Ku masukkan kunci itu ke dalam lubang kunci dan memutarnya dua kali. Ceklek! Aku membuka daun pintu itu untuk melihat siapakah gerangan si Tamu hari minggu pagi itu.
“Selamat pagi.” Sapanya. Lelaki itu tersenyum kepadaku, tapi senyumnya seakan membunuhku.
Robert Pattinson!!! Aku tergeragap, tidak ada suara yang keluar dari bibirku, tidak juga senyum untuk membalas sapaannya. Hanya suara ah, uh yang tidak jelas yang keluar dari tenggorokan-ku.
“Selamat pagi, kamu Dara kan?”
“Ii.. iya, Pak Daniel kok bisa ada di sini?” tanyaku gugup. Tanganku reflek menyentuh dan merapikan rambutku yang aku tau pasti sedang berantakan banget.
“Hey, Abby. Kamu udah dateng?” suara Mbak Sinta mengagetkanku.
“Iya, tapi katanya aku harus dateng pagi-pagi.”
“Iya sih,” Mbak Sinta tersenyum ke arah Pak Daniel yang dipanggilnya Abby. Aku masih bengong gak jelas, “Dara, kok kamu gak suruh Mas Abby masuk?” tanya Mbak Sinta karena melihatku mematung di depan pintu.
“Eh, oh, iya. Silakan masuk, Pak,” ujarku akhirnya. Aku masih bingung kenapa Mbak Sinta memanggil Pak Daniel dengan Abby. Apa maksud nya Umi sama Abi? Aih…
“Abby, ini lho adikku yang namanya Dara yang aku ceritain sama kamu. Dia ini kuliah di tempat kamu mengajar.” Kata Mbak Sinta setelah Pak Daniel duduk di kursi ruang tamu.
“Iya, aku udah tau. Soalnya kalian mirip banget.” Jawab Mas Abby alias Pak Daniel.
“Dara, kamu udah kenal kan sama Mas Abby? Dia ngajar di tempat kamu lho.”
“Udah sih, tapi namanya bukan Abby, tapi Daniel.” ujarku.
“Ooohhh, Abby dan Daniel itu sama saja. Soalnya nama panjang Mas Abby itu, Daniel Aditya Naufal Dary Abiyyu” terang Mbak Sinta. Mas Abby hanya senyum-senyum saja. Jadi D.A di belakang nama Pak Daniel itu singkatan dari Dary Abiyyu.
“Jadi, Mas Abby ini pacarnya Mbak Sinta ya?” tanyaku kemudian, berharap Mbak Sinta menjawab dengan kata ‘tidak’
“Bukan pacar,” hatiku sedikit bersorak kegirangan, “tapi calon suami.” Kata Mbak Sinta melanjutkan. Haaaa… jadi, si Robert Pattinson, eh, Pak Daniel, dosen pujaan hatiku ini adalah calon kakak iparku. Hatiku mencelos, rontok menghantam bumi.
“ya Tuhan… Aku harus ikhlas, demi kebahagiaan Mbak Sinta.” Bisik hatiku kemudian. Aku menelan ludah. Rasanya pahit sekali
Cerpen Karangan: Loli Asmara Dewi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar