Cinta di Malam Lailatul Qadar
Terdengar lantun suara lirih bacaan Al-Qur’an
setiap fajar, khas mengalun
mengalahkan melodi simphoni relaxasi yang biasa
didengarkan untuk terapi
pikiran, membangunkan para aura suci untuk
bermunajat kepadaMu,terkesimalah
para malaikat mendengarnya,terngiang indah disetiap
sentuhan ayat sehingga kau
jelma saat subuh dengan kehangatan hawa mushab itu,
bibir tipis yang setiap
saat bergetar menyebut nama Allah.Wajah ayu yang bersinar sehalus
lilin terselimuti jilbab,yang setiap waktuakan terpercik air suci wudhu.Senyum
indah
dikala limpahan nikmat menghujani keluarganya yang
kecil.Mata sayup yang
tergenang air mata saat musibah menimpa kehidupannya,bahkan
aku tidak bisa
mengerti tentang air mata itu.Ia bersyukur atau
sebuah ratapan, karena wanita
itu tak pernah mengeluh tentang takdir yang silih
berganti mengalir setiap
hari, bahkan sampai aliran pembuluh darahnya
terhenti. Taukah dia yang selalu
aku kagumi wajahnya setiap dia terlelap dalam mimpi,
sesungguhnya aku tak
rela jika tingkah laku yang terbungkus kesopanannya
ternodai cipratan dosa,
akan selalu kujaga meskipun lawan yang kuhadapi ratusan pedang
akan mencabik-cabik tepat dijantungku, aku sungguh mencintainya.
YaAllah…aku takut tentang anggapan syirik, sesungguhnya aku
tak akan pernah menyekutukanMu atas wanita itu.Kau berikanku surga yang nyata
didunia ini, berwujud mahluk yang senantiasa mengingatkanku atas nikmatMu,
mahluk yang biasa aku panggil sayank,adalah Ibuku.
Terkadang pernah terbesit kesombongan untuk membuktikan bahwa
Ibukuadalah Ibu yang terbaik dalam hidupku.Terkadang aku ingin mengepal tangan
keangkuhan biar semua tahu bahwa Ibuku adalah Ibu yang benar-benar bisa
kupercayakan untuk keluarga, terkadang akan kubusungkan dada tinggi hati untuk
bersaing agar semua mengerti bahw Ibuku adalah sebenar-benar Ibu yang terbaik
dari yang terbaik, kesolehahannya mengandung sari yang bisa mengobati penyakit
hati mereka, aku tak pernah patah semangat untuk membekukan pendapat manusia
yang melecehkannya, orang-orang akan salah menilai, tapi semua itu selalu luluh
sebelum berjuang, adalah Ibuku yang mendinginkan
darah yang semula memanas,
ia yang membendung segala amarahku sehingga semua saraf teraliri kesejukan. “Semua itu ada massanya,
percayalah Tuhan lebih mengerti umatNya,keadilan hakiki
bukan disini tempatnya, maafkanlah mereka, segeralah dibukakan
mata hati mereka yang tertutup, aku tidak pernah menyimpan dendam,sebagaimana
kuinginkan suami yang demikian, sesungguhnya aku tidak
menginginkan ketidaktaatan kepada suamiku, aku tidak
bermaksut menghilangkan
sifat menghormatimu, semoga laknat Allah tidak
menimpa keluargaku, sebaliknya
semoga nikmat cintaNya dilimpahkan menjadi nikmat
cintaku yang luar biasa
kepada suamiku”. Mendengar ucapan istriku
seakan rontok seluruh isi tubuhku,
menjadi lebur tak berdaya, seperti debu yang mudah
hilang hanya tertiup angin,
“ya
Allah seandainya yang kupendam dalam hati menentang syari’atMu, hilangkan
rasa itu, ya Allah maafkan aku, fithoatillah”
jawabku dalam hati, aku sungguh
beruntung memiliki istri sepertinya, dia tak sekedar
penghias hidupku tapi
bahkan melebihi apa yang aku bayangkan, ucapannya
mengandung sabda.
Akan
lebih terheran jika orang yang dulu pernah mengecilkannya, melihat
tingkah lakunya sekarang yang anggun, orang-orang
menganggapnya adalah
sebongkah batu yang tidak bisa berbuat apa-apa,
hanya sebongkah batu yang hanya
merepotkan pemiliknya, tapi tidak bagiku. Tapi
kuyakin sebongkah batu itu yang
dipilihkan Allah untukku, batu yang mungkin bisa
mengalahkan puluhan permata
yang dulu pernah mencoba menghiasi perjalanan ta’arufku,
sampai aku memilihnya
sebagai belahan jiwa, dia memang tak secantik Siti
Hawa, tapi cukup
menggetarkan naluri lelakiku ketika tersenyum lewat
candaanku, dia memang tak
sekaya Ratu Bilqis, tapi batinnya merasa kaya dan
selalu bersyukur dengan apa
yang dimiliki, dia memang tak setegar Fatimah
Azzahra, tapi cukup membuatku
nyaman ketika harus berlayar mengarungi kehidupan yang
penuh gelombang
menghantam.
“Mas…sarapan
dulu sebelum berangkat ke kantor” pintanya, nasi putih, telur
ceplok plus mie instant menu pagi ini yang sudah
tersedia dilesehan karpet
depan televisi. Rumah kami cukup sederhana, untuk
saat ini meja makan belum
sempat terbeli, usia pernikahan yang masih dini
memaksa kami belum berfikir
memilikinya. Aku cukup kenyang, sudah terbiasa sejak
kecil tak pernah
membiarkan makanan tersisa dipiring. “Alhamdulillah
ya Allah jangan kau
hentikan kebahagiaan atas keluargaku, berikan rizqi
yang halal dan keberkahan
yang luar biasa agar terbelanjakan dijalanMu,
jauhkan kami dari bau busuk
neraka, curahkan aroma wewangian dariMu, pilihlah
keluarga kami sebagai
penghuni surga, shalawat dan salam kpd Sang Pangeran
Cinta Rasulullah SAW,
amin” doa yang pernah diajarkan ibu kepadaku sewaktu
kecil, sepintas teringat
tangan terjuntai dari seorang ibu mengusap rambutku,
mata tajam memandang
keoptimisan dari anaknya, seolah menitipkan harapan
besar yang tampak tergambar
dari rautwajah beliau, beliau tak pernah terlewatkan
untuk mengecup kening setiap
selesai berdo’a untuk anaknya.
“ Nanti missed call ya kalau sudah sampai kantor”. “InsyaAllah””jawabku,
bergulir hari-hari kami yang selalu berjalan akan
hiasan kehidupan islami yang
tercipta. Setengah tahun kami berumah tangga, belum
pernah berselisih tentang
masalah besar, kami selalu menganggap semua itu
hanya hiburan yang tidak
mengurangi kasih sayang. Adalah istriku yang
mengajarkan itu semua, merenung
sejenak dan berfikir dengan kepala dingin akan
mengalahkan segala-galanya
daripada mengedepankan emosional. “Sayank…malam
ini jangan lupa menghafal ayat
74 surat An-Nissa” pintanya, jari lentiknya
mengencangkan ikatan jaket yang
kupakai.